Selasa, 20 April 2010

DAMPAK NEGATIF TELEVISI TERHADAP ANAK DAN USAHA MENGANTISIPASINYA


Oleh Drs. Akmal Sutja, M.Pd

Terkesan dengan tugas laporan buku Social Learning Theory dari Albert Bandura, yang melihat televisi sebagai modeling perilaku manusia, dan hasil penelitian Albert Bandura tentang pengaruh televisi terhadap perilaku manusia, sehingga menghasilkan dalil-dalil seperti 1) belajar melalui observasi yang sungguh-sungguh akan mengakibatkan terorganisir dan tersimpannya model perilaku dalam memori seseorang serta kemudian mendorong dengan kuat seseorang untuk melakukannya. 2) reinforcement bukanlah hanya belajar tentang respon, tetapi menentukan ya atau tidaknya seseorang mempergunakan kemampuan yang diperoleh dari pengamatan itu, serta 3) tayangan kekerasan pada televisi dan kondisi lingkungan pisik yang saling menyerang justru akan membentuk; perhatian (attention), keinginan mengulangi kembali (retention), serta munculnya motivasi (motivation) untuk menyerang orang lain.

Namun dalil tersebut agaknya belum komprehensif untuk mengupas dampak televisi bagi perkembangan manusia. Karena televisi tidak hanya menjadi acuan atau modeling seseorang berperilaku, tetapi sebebenarnya lebih lebih mendasar dari itu, yaitu mempengaruhi reaksi dan proses kerja syaraf otak serta pisik seseorang Mungkin kita berkesempatan menambah atau mengembangkan dalil Bandura ini, dengan mencermati penelitian yang dilakukan oleh ahli lainnya.

Untuk mendeskripsikan pengaruh tayangan televisi terhadap anak-anak ini, maka penulis senggaja untuk mengangkat persoalan televisi ini sekali lagi sebagai makalah untuk diajukan dalam perkuliahan Aspek Sosial Budaya dalam Pengembangan Pendidikan, di bawah asuhan yang mulia Prof Dr. Achmad Hufad, M,Ed, dengan judul ”Dampak Negatif Televisi terhadap Anak dan Usaha Mengantisipasinya”

A. Televisi sebagai Sumber Belajar

Ketika Charles Francis Jenkins, dari USA, (1923) mendemonstrasikan televisi, dan diikuti dua tahun kemudian oleh John Logie Baird dari Inggris, pastilah mereka tidak membayangkan, bahwa temuan mereka kelak akan menjadi media komunikasi massa yang digemari dan berpengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Ditonton dan dibutuhkan semua lapisan masyarakat, dan banyak orang yang menghabiskan waktunya berjam-jam setiap hari untuk menyaksikan tayangan dari televisi itu.

Juga tak mungkin terpikirkan pula bagi mereka bahwa televisi temuan mereka akan menjadi acuan perilaku banyak orang, pusat sumber belajar masyarakat . Memberi informasi sekaligus edukasi dan hiburan. Dimanfaatkan banyak pihak, mulai dari pelaku ekonomi untuk iklan produksinya, politikus untuk promosi diiri, sampai petani dan nelayan untuk mengetahui cara bercocok tanam dan ramalan cuaca.

Namun Moore (2004) menyatakan bahwa tayangan televisi sekarang telah banyak terkontaminasi dengan pesan terselubung atau terang-terangan dan berdampak negatif terhadap anak-anak. Sehingga kehadiran televisi sekarang ini bagikan pedang bermata dua, ada sisi positif atau negatifnya.

Mengapa televisi bisa tampil sebagai media komunikasi massa yang digemari banyak orang itu? Bandura (?) menjelaskan bahwa televisi sebagai media massa yang amat disukai banyak orang disebabkan karena televisi memiliki sifat sederhana (mudah dipahami), distinctif, (menonjolkan hal yang berbeda) disukai (mengikuti kehendak atau kesukaan pemirsanya), bermanfaat (ada hikmah atau manfaat yang bisa dipetik dari tayangan itu) dan menarik (dengan menghiyas atau mengusahakan segala sesuatu itu menawan hati).

Oleh karena itu, adalah mustahil, bilamana setiap anak bisa dibebaskan dari televisi. Kalaupun tidak miliki sendiri, mereka akan bergabung menonton ke rumah tetangga. Daya pikat televisi sunguh luar biasa. Tak membedakan usia, dari balita sampai manula, laki-laki maupun wanita, Tak peduli kaya atau miskin, di kota atau di desa, di rumah bahkan di kantor di dalam kenderaan. televisi benar-benar menjadi kebutuhan setiap rumah, setiap keluarga, dan di masa depan akan menjadi kebutuhan setiap individu.

Televisi membuai orang sampai terlena. Silih berganti acara menarik disuguhkan, mulai dari yang jenaka sampai debat ilmiah, dari berita sampai kepada drama, dari yang tradisonal sampai tayangan close-up. televisi tampil seakan tanpa cela. televisi telah menghubungkan orang dengan dunia luar. Tak lagi rahasia dunia tersisa. Kejadian sekecil apapun, di belahan dunia yang amat jauh bagaikan dipelupuk mata. Dilayar yang kecil itu seorang bocah bisa menyaksikan worl-cup, peperangan, bahkan juga menyaksikan pidato Barack Obbama, SBY atau Ahmadinejef di depan bangsanya masing-masing. Televisi menjadi jendela dunia. Pusat perhatian dan jalur informasi yang belum tertandingi. Dewasa ini televisi memiliki ragam fungsi; informasi, edukasi, ekonomi, rekreasi, serta hiburan.



B. Dampak televisi terhadap proses kerja otak

Dibalik tayangan televisi yang penuh pesona itu, ternyata banyak bahaya yang mengintai, khususnya bagi pendidikan anak. Memberikan kebebasan menonton televisi ternyata memiliki danpak negatif terhadap susunan syaraf otak, kepribadian dan pisik anak. Dokter spesialis anak asal San Francqqisco Amerika, Susan R Johnson, MD. (2000) yang dimuat Intisari Edisi Mei 2000, melaporkan, bahwa televisi mempengaruhi sistem kerja syaraf otak anak.

Menurut Johnson (2000) otak manusia tersusun dua belahan, kiri dan kanan. Namun reaksi atau proses kerjanya tumbuh dan berkembang secara perlahan melalui tiga tahapan, dari otak primitif (action brain), otak limbik (feeling brain) dan akhirnya otak pikir (neocortec, atau thought brain). Proses kerjanya saling berkaitan, dan juga dimulai sesuai dengan urutan tersebut, meskipun ketiganya mempunyai fungsi sendiri-sendiri.

Otak primitif mengatur kegiatan pisik dalam rangka kelangsungan hidup; mengelola gerak reflek, mengendalikan gerak motorik, membantu keseimbangan fungsi tubuh serta memproses informasi yang masuk dari panca indra. Kemudian baru setelah itu otak limbig bereaksi dan terakhir otak pikir. Saat menghadapi ancaman atau keadan bahaya otak primitif bersama otak limbig menyiapkan reaksi "hadapi atau lari". Itulah sebabnya, sering kali reaksi pisik dan emosi lebih dulu sebelum otak pikir sempat memproses imformasi.

Otak limbik memproses informasi seperti rasa suka, sayang, cinta sampai rasa sebal dan benci. Otak ini sebagai penghubung otak pikir dan otak primitif. Maksudnya, otak primitif dapat diperintah mengikuti kehendak otak pikir. Tetapi disaat lain otak pikir, dapat dikunci untuk tidak berfungsi, dikalahkan fungsi otak primitif dan limbig. Keadaan darurat, mengerikan atau emosional, orang sering kali hanya mengikuti printah otak primitif dan limbik. Otak pikir diam dan tidak berfungsi apa-apa, karena dikunci kedua otak tersebut.

Sedangkan otak pikir yang merupakan bagian otak yang paling obyektif menerima masukan dari otak primitif dan otak limbik. Namun ia butuh waktu lebih banyak untuk memproses informasi termasuk image dari otak primitif dan otak limbig. Otak pikir juga merupakan tempat bergabungnya pengalaman, ingatan, perasaan, dan kemampun berfikir untuk melahirkan gagasan dan tindakan.

Otak manusia memiliki miliaran neorun (syaraf). Setiap ada hal penting dan berkesan bagi individu, maka dalam otak terbentuk jaringan atau sambungan baru. Sambungan itu akan terbungkus oleh protein yang berada dalam batang neuron, atau ini disebut proses melienasi.

Mielinasi syaraf otak berlangsung secara berurutan, mulai dari otak primitif, lembig, dan otak pikir. Jalur syaraf yang makin sering digunakan membuat sambungan semakin menebal. Makin tebal sambungan makin cepat impuls syaraf atau akan lancarnya perjalanan sinyal bolak balik ke otak. Bila sambungan tersebut jarang digunakan, maka ia akan lambat dan membutuhkan banyak waktu. Karena itu, anak yang sedang tumbuh dianjurkan menerima rangsangan dari lingkungannya sehingga masuk dan diproses dalam otaknya sebagai melienasi.

Otak anak, sejak lahir, memiliki lebih 10 miliar neuron (sel-syaraf) Tiga tahun pertama, merupakan priode yang sensitif untuk membentuk ribuan sambungan (melienasi) antar neuron yang disebut dedrite dan axon. Axon lurus dan dedrite bagaikan sarang laba-laba. Sambungan itu akan terbungkus melalui proses melienasi. Meskipun otak anak 6-7 tahun, ukurannya masih kecil dan baru dua pertiga otak orang dewasa, tetapi memiliki kemampuan 5-7 kali lebih banyak sambungan antar neutron dari pada otak orang dewasa. Otak anak punya kemampuan yang cepat untuk menyusun sambuang antar neuron. Ini disebabkan, karena usia demikian otak anak dilengkapi dengan enzim berupa lemak yang memudahkan melienasi tercipta.

Karena melienasi itu tercipta sebagai akibat beroperasinya fungsi otak, maka pada masa itu anak perlu mendapat berbagai pengalaman yang positif dan bermanfaat bagi kehidupan mereka nantinya. Kalau anak tidak mendapat pengalaman itu serta lingkungan tidak merangsang terbentuknya melienasi tersebut, maka sambungan tersebut tidak akan terjadi., sehingga otak anak bagaikan folder kosong dengan kapasitas besar.

Namun kecepatan menciptakan sambungan itu akan berkurang pada usia 10-11 tahun jika tidak dikembangkan atau digunakan. Karena saat itu, enzim dan lemak yang diperlukan untuk melienasi dilepaskan dari otak dan melarutkan semua jalur urat syaraf (parthway) yang tidak terbungkus atau terbentuk.

Sebelum anak berusia 4 th melienasi banyak terjadi pada otak primitif. Setelah umur 6 -7 tahun mileinasi baru bergeser ke otak pikir. Awalnya dari belahan otak kanan yang antara lain bertugas merespon citra visual. Ketika menonton televisi belahan otak kanan inilah yang paling dominan kerjanya. Sedangkan ketika membaca menulis, dan berbicara belahan otak kiri yang dominan. Tugas utama otak kiri adalah berfikir secara analitis dan menyusun argumen logis langkah demi langkah. Ia menganalisis kata dan makna bahasa (misalnya kemampuan mencocok suara dengan alfabet) juga mengelola keterampilan otot halus seperti menggerakan mulut, lidah atau suara.


Kedua belahan otak itu dijembatani oleh bundel (urat) syaraf yang disebut corpus collosum, sisi kanan dan kiri saling berkoordinasi melalui jembatan ini. Aktivitas motorik kasar seperti lari lompat tali, memanjat serta aktivitas motorik halus menggambar, merenda, membuat origami dan bikin lukisan merupakan aktivitas penting melienasi. Jalur ini memungkinkan kemampuan berfikir analitis, (otak kiri) dan intuitif (otak kanan) untuik saling mempengaruhi. Sejumlah ahli neuropsikologi percaya bahwa buruknya hubungan atau jembatan ini mempengaruhi kemampuan berkomunikasi antara belahan otak kanan dan kiri. Diduga, inilah penyebab timbulnya kesulitan perhatian pada anak.


C. Televisi dan problem pancaindra

Mulai semenjak kanak-kanak, pancaindra harus mendapat porsi pengalaman yang seimbang. Artinya antara mata, telinga, hidung, lidah, serta kulitnya perlu mendapat pengalaman yang sama agar bisa terjalin koordinasi sinyal ke otak. Pemaksaan kepada salah satu indra saja sangat memungkinkan panca indra lainnya akan tidak cepat diterima oleh otak.

Televisi sesungguhnya hanya memberikan informasi kepada dua indra; mata dan telinga. Meskipun dengan visual yang sempurna serta suara yang seterio sebenarnya tidak membawa arti banyak pada anak. Karena ketajaman visual dan pandangan tiga demensional anak belum berkembang sepenuhnya sampai usia 4 tahun. Gambar yang dihasilkan televisi itu tidak nyata, tidak vokus dan sering kabur karena tersusun dari titik-titik sinar. Hal ini membuat mata anak-anak jadi terpaksa sehingga cepat menimulkan kelelahan

Karena televisi lebih merangsang mata, dari pada lainnya, maka menempatkan mata anak pada rangsangan yang berlebihan. Pada hal kondisi pisik mata anak justru memerlukan perlidungan agar mata mereka tidak menerima rangsangan yang berlebihan itu. Pupil mata mereka sering kali kekeringan karena durasi yang cepat saat menonton itu mereka jarang berkedip. Akibatnya kerusakan mata bagi anak yang setiap hari menonton televisi lama adalah suatu yang lumrah ditemui.

Anak-anak ibarat lensa kamera, mereka meyerap apa saja yang dilihat, didengar, dicium, dirasakan dan disentuh dari lingkungan mereka. Kemampuan otak mereka untuk memilah atau menyaring pengalaman, rasa senang atau tidak, aman atau berbahaya belum berkembang, sehingga memungkinkan ia menyenangi dan ingin mengambil binatang berbisa karena warnanya yang indah. Sama halnya dengan dorongan modeling yang disebut Bandura (?) vicarious reward justru dianggap sebagai legitimasi atas suatu tindakan kekerasan. Di sini juga dapat merubah kewaspadaan anak terhadap bahaya yang mengancamnya.

Rangsangan dan perkembangan indra itu, pada gilirannya akan mengembangkan bagian tertentu dari otak primitif yang disebut dengan reticuler activating system (RAS) RAS ini pintu masuk dimana kesan yang ditangkap setiap indra saling berkoordinasi sebelum diteruskan ke otak pikir. RAS merupakan wilayah di otak yang membuat kita mampu memusatkan perhatian. Kurangnya stimulasi, atau sebaliknya stimulasi yang berlebihan, ditambah lagi dengan gerakan motorik kasar dan halus yang tidak berkembang secara baik, bisa menyebabkan rusaknya perhatian terhadap lingkungan. Anak akan telihat bebal dan cuek dengan lingkungannya.

Dengan demikian, televisi telah mendorong terciptanya dominasi mata sebagai jalan masuk ke otak, dan tentu saja akan membuat indra lainnya tidak mendapat respon yang cepat. Oleh sebab itu, maka anak yang sering menonton televisi tidak akan mudah bereaksi dan terlihat mudah lupa bila mendengar perintah orang tua, serta terlambat dalam mengoperasikan otak pikirnya.

Televisi juga barang elektronik lain, memancarkan gelombang elektromagnetik, maka disarankan posisi menonton setidaknya 120 cm dari televisi dan 45 cm dari layar komputer. Sistem visual dalam kemampuan mencari atau search out, memindai atau scan, memfokus, dan mengindentifikasi apa yang masuk dalam bidang pandang terganggu oleh kegiatan menonton televisi, pada hal keterampilan visual ini perlu dikembangkan dengan kaitannya dengan membaca efektif. Saat menonton pupil mata anak tidak melebar, dan nyaris tidak ada gerakkan mata, pada hal gerakan yang elastis justru penting dalam kegiatan membaca. Mata dituntut harus bergerak dari kiri ke kanan halaman saat membaca.

Kemampuan untuk memusatkan perhatian, juga menghasilkan sistem visual ini, sementara itu gambar- gambar televisi yang berubah secara cepat tiap lima-enam detik pada kebanyakan tayangan acara dan dua sampai 3 detik pada iklan, membuat otak pikir tidak punya kesempatan memproses imag, pada hal otak pikir perlu 5 sampai 6 detik untuk memproses gembar begitu mendapat stimulus.

Membaca buku, berjalan-jalan di alam, bercakap dengan orang lai--dimana anak punya kesempatan untuk merenung dan berpikir jauh lebih mendidik dari pada menonton televisi --- Kegiatan ini meniadakan pengalaman berharga itu. Menonoton televisi merupakan pekerjaan tanpa akhir, bahkan tanpa tujuan. Tidak seperti makan dan atau jalan-jalan yang ada masa kenyang dan lelahnya. Menonton televisi tidak ada ujungnya. televisi membuat anak ingin terus menonton, tanpa pernah merasa puas.


D. Televisi; Mematikan Gerak Reflek

Meskipun acara televisi yang dikhususkan untuk anak, tetap saja tayangan itu meletakkan belahan otak kiri dan sebagian belahan otak kanan ke dalam gelombang alfa (slow wafe of in activity) televisi membius fungsi-fungsi otak pikir dan merusak keseimbangan serta interaksi antar kedua belahan otak kiri dan kanan itu.

Bila membaca menghasilkan gelombang beta kuat dan aktif, sedangkan menonton televisi mengembangkan gelombang alfa lambat di belahan otak kiri dan kanan. Belahan kiri merupakan pusat penting dalam kegiatan membaca, menulis dan berbicara. Otak kiri merupakan tempat di mana simbol-simbol abstak (alfabet) dikaitkan dengan bunyi. Sumber cahaya televisi yang berpencar dan bergetar di duga ada kaitannya dengan meningkatnya aktivitas gelombang lambat itu.

Otak primitif tidak dapat membedakan mana gambar riel dan mana gambar cahaya televisi, karena penglihatan merupakan tanggung jawab otak pikir. Karena itu, ketika televisi menanyangkan gambar clus-up dan gambar bercahaya secara tiba-tiba, otak primitif bersama otak limbig segera menyiapkan respon, hadapi atau lari. Dengan melepaskan hormon dan kimia ke tubuh yang akan berperasi. Seperti, bila akan memukul, jantung mengalirkan darah ke salah satu kepalan tangan yang akan bereaksi. Darah yang mengalir ke otot anggota badan meningkat bersiap-siap menghadapi keadaan bahaya.

Namun karena itu tidak riel kenyataan, maka anggota tubuh yang telah disiapkan otak untuk melakukan reaksi tersebut tidak bereaksi, dan segera kesiapan ditarik pelan-pelan oleh mekanisme tubuh. Bila ini terjadi berulang kali, justru akan menyebabkan anggota tubuh kehilangan gerakan refleksnya, bahkan mandul. Bila terjadi kenyataan sesungguhnya, gerakkan reflek tubuh akan kalah sehingga orang yang bisanya menonton televisi terlalu lama akan terlihat lambat dalam gerakkan reflek ini.

Karena itu terjadi dalam tubuh tanpa diikuti gerakan yang sesuai dengan anggota badan, maka acara-acara televisi tertentu sesungguhnya meletakkan kita kepada keadaaan strees atau kecemasan kronis. Berbagai studi menunjukkan, pada orang dewasa yang mengalami stess kronis, pertumbuhan belahan otak kirinya terhenti (atrofy). Ketika otak anak dipapari rangsagan visual sekaligus suara, yang diserap hanyalah visualnya. Ilustrasi tentang fenomana ini dapat dilihat pada sekelompok anak 6-7 tahun yang disunguhi tontonan vidio yang suaranya tidak sesuai dengan gerakkan visualnya. Begitu ditanya, mereka tidak megetahui kalau suara dan gambarnya tidak klop. Itu artinya, mereka tidak menyerap isi totontannya.

Menonton televisi cenderung meningkatkan obesitas baik dikalangan anak-anak maupun orang dewasa. Sebuah studi dilakukan Moore (2004) karena banyaknya iklan permen di televisi menyatakan 15,3 persen anak-anak berusia 6 sampai 11 di USA mengalami kelebihan berat badan. Pada hal tahun sebelumnya pada tahun 1999-2000, hanya 4,2 persen.

Disamping itu, saat menonton televisi, orang merasa terlepas dari kehidupan nyata. Di kursi yang nyaman di rumah yang sejuk dengan banyak makanan adalah terasa biasa saja kendatipun di televisi ditayangkan para tuna wisma orang kelaparan atau menderita serba kekurangan. Mungkin adnya yang tersentuk, melihat nasib mereka, tetapi tidak berbuat apa-apa.

Amat beda bila seseorang membaca kehidupan tuna wisma tersebut. Meskipun ada yang mengatakan bahwa boleh membaca bukupun hanya membangkitkan perasaan serupa tanpa berbuat apa-apa. Namun menurut dokter Johnson (2000) saat sedang membaca buku yang tidak banyak gambarannya, pikiran bisa berimaginasi dan punya kesempatan memikirkannya. Pikiran itu dapat menggiring seseorang kepada gagasan yang menimbulkan isnpirasi untuk melakukan sesuatu. Sementara televisi tidak memberi adanya jeda waktu agar seseorang punya kesempatan berimajinasi seperti itu, karena segera tayangan baru sudah muncul lagi.

Kita tidak akan pernah lupa dengan apa yang pernah kita lihat. Otak limbik dihubungkan dengan memori. Dan gambar di televisi kita ingat entah secara sadar, tanpa sadar atau bawah sadar. Maka kita hampir tidak mungkin menciptakan imajinasi. Sebaliknya, orang sering kecewa ketika menonton film yang pernah dibacanya, karena ia tidak lagi berimajinasi, padahal imajinasi tentang sesuatu yang lain mungkin muncul dalam dirinya.

Ketika menonton televisi, seringkali anak-anak tidak menggunakan imajinasi sama sekali, itu berarti kurang pelatihan otak -pikir untuk menciptakan angan-angan, intuisi, inspirasi, dan imajinasi. Bahkan televisi menjauhkan anak-anak untuk berinterkasi dengan lainnya saat menonton acara tersebut. Mereka bersifat individual kendatipun mereka menonton dalam ruangan dan televisi yang satu.


E. Mengatasi danpak negatif televisi

Dalam situs Departemen kesehatan diturunkan berita dengan tajuk Gaya Hidup Sehat dengan Sedikit nonton TV. Ini menandakan bahwa menonton televisi yang lama justru dapat membawa orang ke dalam kondisi tidak sehat. Ternyata kesadaran ini tidak hanya ditemukan di Indonesia, tetapi di USA, Frazier Moore (2004) sangat mencemaskan kebiasaan masyarakatnya yang menonton televisi rata lebih dari 4 jam setiap harinya. Sehingga ia mengajak pemirsa televisi untuk menengok kehidupan luar, dengan cara menciptakan gerakkan “Pekan Matikan TV” Selama satu pekan itu masyarakat diajak untuk memanfaatkan waktunya bersama tetangga, teman-taman di tempat kerja atau di kampus untuk bergabung melakukan kegiatan lain kecuali nonton televisi.

Namun karena tidak mungkin melakukan gerakkan itu, anak tak mungkin dipisahkan agar tidak menonton televisi, dan juga tidak akan berdampak efektif bila satu minggu tidak menonton televisi tetapi selama 51 pekan menonton dengan leluasa. Agaknya usaha yang lebih realistik untuk mengurangi dampak negatif televisi ini dapat diikuti saran dari Johnson (2000) dan Sutja (2006) yaitu:

1. Matikan televisi sesering mungkin. Jauhkan anak dari televisi sampai ia berusia 12 tahun. Selubungi pesawat televisi atau taruh dalam lemari berpintu agar menjauhkan keinginan anak untuk menonton. Kita tak bisa melarang, kalau kita sendiri melakukan. Jika televisi meyala seleksilah acaranya dan tontonlah bersama sehingga anda bisa berceritera apa yang sedang ditonton. Nyalakan lampu ruangan untuk menambah sumber cahaya lain.

2. Bacakan buku dan dongengkan ceritera sesering mungkin. Anak- anak juga suka mendengarkan cerita tentang kehidupan kita diwaktu kecil. Menjelang tidur atau saat di kenderaan adalah saat yang baik untuk mendongeng. Bercerita membantu merangsang kemampuannya merangsang imajinasi.

3. Ajaklah anak mengenal alam. Alam merupakan guru terbaik untuk belajar kesabaran, kegembiraan, pesona, dan observasi. Warna alam sungguh luar biasa dan seluruh panca indra dirangsang. Anak zaman sekarang sering mengira alam itu membosankan, sebab mereka terbiasa dengan gambar-gambar yang bergerak cepat atau action yang sudah di kemas televisi . Belajar itu melibatkan seluruh panca indra, dan informasi samaim kepada kita dengan cara, sedemikian hingga otak pikir dapat menyerapnya. Alam itu realitas, televisi itu realitas semu. Buat rencana keluar, misalnya ke taman kebun pantai sehabis menonton.

4. Jagalah keseimbangan pancaindra mereka dengan memberi rangsangan yang sama terhadap panca indra lainnya. Pengalaman melihat, mendengar, mencium, merasakan, dan menyentuh sangat penting bagi perkembangan dirinya. Tunjukan bagaimana anak bisa menemukan benda atau warna yang ditontonnya itu, merasakan atau menciumnya.

5. Agar memelihara retina maka perlu diatur jarak antara televisi dengan anak, sedapat mungkin letak televisi tidak tinggi dari mata anak, serta jangan biarkan anak menonton televisi dengan jarak kurang dari 1,2 m. Usahakan pula agar latar belakang televisi tidak memiliki cahaya yang kontras.

6. Biarkan anak menggunakan tangan, kaki, atau seluruh tubuhnya untuk melakukan aktivitas tertentu. Semua kegiatan luar ruangan; lari, melompat, memanjat, lompat tali dll membantu mengembangkan motorik lasar dan melienasi. Melakukan pekerjaan rumah tangga, memasak, bikin kue, merenda, memaku kayu, origami, bermain gitar, piano, melukis, menggambar dan mewarnai membantu mengembangkan motorik halus anak-anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar